Minggu, Februari 22, 2009

PANDUAN PRAKTIS PENGISIAN SPT MASA PPN 1107 BAGI PKP APOTEK/ INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT

Dasar hukum :

 - Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 18 Tahun 2000.

 - Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

 - Keputusan Menteri Keuangan Nomor 253/KMK.03/2002 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang Dagangan Oleh Pedagang Eceran Selain yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 402/KMK.03/2002. 

 - Keputusan Menteri Keuangan No.553/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No.252/KMK.03/2002. Keputusan Menteri Keuangan ini kemudian dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008. Sebagai gantinya diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.03/2008 tanggal 31 Maret 2008 yang mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2008.

 - Keputusan Menteri Keuangan No. 575/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.

 - Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-06/PJ.52/2000 tanggal 2 Maret 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penggantian Obat di Rumah Sakit.  

Penegasan Direktur Jenderal Pajak :

- Surat Dirjen Pajak No.S-424/PJ.52/2000 tanggal 28 Maret 2000.

- Surat Dirjen Pajak No.S-474/PJ.52/2000 tanggal 12 April 2000.

- Surat Dirjen Pajak No.S-431/PJ.52/2003 tanggal 14 Mei 2003.

- Surat Dirjen Pajak No.S-443/PJ.53/2004 tanggal 8 Juni 2004.

- Surat Dirjen Pajak No.S-100/PJ.52/2005 tanggal 27 Januari 2005.

- Surat Dirjen Pajak No.S-102/PJ.52/2006 tanggal 22 Februari 2006.

Apotek/Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Di dalam lingkungan rumah sakit baik pemerintah maupun swasta dapat kita jumpai adanya apotek ataupun instalasi farmasi (kamar obat). Apakah ada bedanya antara apotek dengan instalasi farmasi, bagaimana pengenaan PPN-nya ? Penjelasan hal ini dapat kita lihat dalam Surat Dirjen Pajak No. S-424/PJ.52/2000 tanggal 28 Maret 2000, yang intinya adalah :

Ø Instalasi Farmasi (kamar obat) merupakan satu tempat untuk mengadakan dan menyimpan obat-obatan, gas medik alat-alat kesehatan serta bahan kimia yang bukan berdiri sendiri tetapi merupakan satuan organik yang tak terpisahkan dari keseluruhan organisasi Rumah Sakit. Sedangkan apotek adalah suatu tempat yang dapat menyerahkan obat-obatan baik kepada pasien yang sedang menjalani rawat inap maupun kepada pasien rawat jalan atau bukan pasien Rumah Sakit yang bersangkutan, dimana untuk pendiriannya diperlukan izin dan persyaratan tertentu.   

Penyerahan obat-obatan yang diperuntukkan hanya bagi pasien rawat inap yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi (kamar obat) yang berada di Rumah Sakit tidak dikenakan PPN, sedangkan penyerahan obat-obatan kepada selain pasien rawat inap yang dilakukan oleh Apotek maupun Instalasi Farmasi terutang PPN.   

Dengan demikian atas penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh Apotek di Rumah Sakit atau Instalasi Farmasi yang melakukan penjualan obat sebagaimana lazimnya Apotek, terutang PPN.

  Ø Apabila apotek di Rumah Sakit; merupakan satu kesatuan dengan Rumah Sakit itu sendiri, maka yang ditunjuk sebagai PKP adalah Rumah Sakit yang bersangkutan dan penyerahan yang terutang PPN adalah penyerahan obat-obatan yang dilakukan apotek tersebut. Hal ini untuk memberikan perlakuan yang sama dengan apotek-apotek lain yang selama ini sudah dikenakan PPN.

  Ø Penggantian istilah Apotek di Rumah Sakit menjadi Instalasi Farmasi tidak mengubah perlakuan PPN atas penyerahan obat-obatan yang dilakukan. Dengan kata lain atas penyerahan obat-obatan kepada selain pasien rawat inap oleh Apotek di Rumah Sakit yang kemudian diganti namanya menjadi “Instalasi Farmasi” tersebut, terutang PPN.

  Apakah seluruh penyerahan apotek Rumah Sakit atau Instalasi Farmasi dikenakan PPN ? Tentu tidak, atas penyerahan obat untuk pasien rawat inap tidak dikenakan PPN. Penyerahan obat untuk selain pasien rawat inap (pasien rawat jalan) dikenakan PPN (Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-06/PJ.52/2000 tanggal 2 Maret 2000 dan ditegaskan lagi dengan Surat Dirjen Pajak No.S-424/PJ.52/2000 tanggal 28 Maret 2000 dan No.S-474/PJ.52/2000 tanggal 12 April 2000).

Kalau kita membaca Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-06/PJ.52/2000, disebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai harus dibayar atas penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat jalan oleh instalasi farmasi/apotik adalah sebesar 2% dari jumlah seluruh penyerahan barang dagangan. Dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan No.252/KMK.03/2002 yang mulai berlaku tanggal 1 Juni 2002, penggunaan nilai lain untuk pedagang eceran sebesar 2% sudah dihapuskan, dengan demikian Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-06/PJ.52/2000 sudah tidak relevan lagi untuk masalah yang mengatur cara penghitungan PPN terutang.

Dalam Surat Dirjen Pajak No.S-443/PJ.53/2004 tanggal 8 Juni 2004, Surat Dirjen Pajak No.S-100/PJ.52/2005 tanggal 27 Januari 2005, dan Surat Dirjen Pajak No.S-102/PJ.52/2006 tanggal 22 Februari 2006 diberikan penegasan sebagai berikut :

a. Apotek atau instalasi farmasi di rumah sakit bertindak lazimnya apotek yang melakukan penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat jalan dengan cara sebagaimana dilakukan oleh pedagang eceran. Oleh karena itu, atas penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat jalan terutang PPN 10% dari harga jual obat.

b. PPN yang disetor ke kas negara adalah selisih antara Pajak Keluaran yang telah dipungut sebesar 10% pada saat penyerahan obat-obatan dengan Pajak Masukan pada saat perolehan obat-obatan.

Umumnya rumah sakit berbentuk badan, bisa yayasan, PT, CV, dll. Kalau rumah sakit milik pemerintah maka rumah sakit yang bersangkutan yang dikukuhkan sebagai PKP. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.03/2008, Wajib Pajak yang berbentuk badan (tidak melihat besarnya omzet) wajib menyelenggarakan pembukuan dan melakukan penghitungan PPN dengan menggunakan mekanisme Pajak Keluaran – Pajak Masukan (tidak boleh pedoman pengkreditan). 

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, melihat dulu besarnya omzet. Jika omzet setahun tidak lebih dari Rp. 1.800.000.000,00 (SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto) maka boleh menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan (Pajak Masukan ditetapkan sebesar 80% dari Pajak Keluaran). Jika WP tidak memenuhi syarat tersebut maka wajib menyelenggarakan pembukuan dan melakukan penghitungan PPN dengan menggunakan mekanisme Pajak Keluaran – Pajak Masukan (tidak boleh pedoman pengkreditan). 

Masalah Pengkreditan Pajak Masukan Pada Apotek/Instalasi Farmasi Rumah Sakit 

 Pada saat membeli obat dari pedagang besar farmasi, pihak rumah sakit akan mendapatkan Faktur Pajak Standar yang akan menjadi Pajak Masukan (PM) bagi rumah sakit tersebut. Pihak rumah sakit harus melakukan pencatatan/pembukuan yang bisa mengetahui berapa penjualan obat rawat jalan yang dikenakan PPN (pemisahan antara penyerahan terutang PPN dan tidak terutang PPN). 

Untuk melakukan pemisahan antara pajak masukan dari obat untuk rawat inap dan rawat jalan, umumnya instalasi farmasi/apotek rumah sakit akan mengalami kesulitan, antara lain karena : Ø persediaan barang/stok barang menjadi satu (campur) antara stok rawat inap dan rawat jalan sehingga kesulitan dalam pemisahan stock opname.

Ø penjualan obat banyak bersifat racikan (1/2,1/4 tablet) yang masing-masing sisa dapat dipakai untuk rawat jalan atau rawat inap.

Dengan permasalahan di atas, bagaimana cara penghitungan PPN apotek rumah sakit dan cara pengisian SPT Masa PPN 1107 ?

Solusi hal ini sebenarnya sudah ada yaitu dengan cara penghitungan kembali Pajak Masukan bagi pengusaha yang melakukan penyerahan terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000.

Masalah cara penghitungan PPN atas obat rawat jalan telah ditegaskan juga dalam Surat Dirjen Pajak No.S-443/PJ.53/2004 tanggal 8 Juni 2004 yang antara lain mengatur sebagai berikut :

Ø Faktur Pajak Masukan yang di dalamnya terdapat penyerahan yang terutang pajak dan tidak terutang pajak, dihitung kembali setelah dikreditkan seluruhnya selama satu tahun buku.

Ø berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 575/KMK.04/2000, rumus untuk menghitung kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan :  

  X ------ X PM   Y  

X = jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang PPN atau yang dibebaskan dari pengenaan PPN dalam tahun buku yang bersangkutan.

Y = jumlah seluruh peredaran dalam tahun buku yang bersangkutan

PM = Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya.  

Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dan menghindari penumpukan pembayaran di akhir tahun (tidak memberatkan dalam melakukan pembayaran) maka penghitungan kembali Pajak Masukan dilakukan per bulan. 

Catatan :  

Sesuai Keputusan Menteri Keuangan No. 575/KMK.04/2000, penghitungan kembali pajak masukan adalah setelah satu tahun buku. Penggunaan cara penghitungan per bulan akan mendapatkan PPN terutang yang sama dengan jika dihitung setelah akhir tahun buku. Dengan cara ini, negara tidak dirugikan karena uang setoran PPN bisa lebih cepat masuk dan Wajib Pajak akan lebih ringan karena PPN disetor tiap bulan (tidak menumpuk di akhir tahun). 

Kewajiban Penyetoran dan Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN

a. Penyetoran PPN

PPN yang terutang dalam satu masa pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir (Pasal 9 ayat 1 UU No.6 tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.28 tahun 2007 jo. Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007). Apabila tanggal jatuh tempo bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya (PMK-184/PMK.03/2007). 

Pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan (Pasal 9 ayat 2a UU No.6 tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.28 tahun 2007).

Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut:

PPN Kurang Bayar masa Mei tahun 2008 PT. A sejumlah Rp 10.000.000,00. PPN tersebut dibayar pada tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggal 19 Juni 2008. Apabila pada tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan sebagai berikut:

1 x 2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000,00.  

b. Pelaporan SPT Masa PPN

Wajib Pajak wajib menyampaikan SPT Masa PPN (form 1107) setiap bulan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah setelah masa pajak berakhir. Apabila tanggal jatuh tempo bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya (PMK-184/PMK.03/2007). 

Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan (terlambat lapor atau tidak lapor SPT Masa PPN), Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda Pasal 7 UU No.6 tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.28 tahun 2007 sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

ditulis oleh :Agus Kristiyanto, SE (AR pada KPP Pratama Blora)

Tidak ada komentar:

Seputar Pajak

Dengan hadirnya sarana komunikasi ini kami berharap bisa bermanfaat bagi wajib pajak. apabila ada wajib pajak yang kesulitan dalam peraturan perpajakan baik pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan masalah pajak yang lain. Dapatkan pula free download formulir perpajakan seperti SPT. SSP, Bukti potong, Faktur dan sebagainya semuanya gratis tanpa dipungut biaya apapun. Anda juga bisa beriklan gratis disini seperti lowongan pekerjaan , bisnis online dan penjualan ebook dan lainnya.

Berikut ini informasi bagi Wajib Pajak di Kabupaten Jepara :

1. Pendaftaran NPWP secara massal
2. Penomoran Faktur Pajak
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
4. PER-16/PJ./2007

TATA CARA PENGISIAN SSP PPH PASAL 22 DAN PPN BAGI BENDAHARA

Mengingat banyaknya kesalahan dalam Pengisian SSP atas PPh Pasal 22 dan PPN bagi bendaharawan di Kabupaten Jepara maka perlu kami sampaikan tata cara pengisian SSP sebagai berikut :
1. NPWP, nama, dan alamat diisi atasnama rekanan bukan NPWP dan nama Bendahara.
2. Dalam hal rekanan belum punya NPWP, maka kolom NPWP cukup diisi angka 0 (nol), kecuali untuk 3 (tiga) digit kolom kode KPP  diisi dengan kode KPP tempat bendaharawan terdaftar.
3. SSP ditandatangani oleh bendahara dan di cap oleh bendahara/instansi, bukan ditandatangani rekanan